15 Pelajaran  Lanjutan Tentang Kasih

Ketika pesawat  mendarat di Frankfurt, saya menjadi kecut menyadari bahwa saya sedang berada di negara yang pernah dikuasai si jahat itu untuk membenci orang Jahudi, bangsa saya. Dalam perjalanan dengan Kreta Api (KA) maupun angkutan kota, saya memandangi orang-orang Jerman yang sudah tua sambil berkata dalam hati, „Pastilah mereka ini masih turut menyaksikan kebrutalan penyiksaan terhadap bangsa saya yang terjadi pada masa lalu. Di bidang apa kira-kira fungsi orang ini?“, tanya saya dalam hati sementara memperhatikan mereka satu persatu.

Saya tiba di Jerman dengan amat sedih mengingat kedua anak saya berada di kejauhan. Rasa pilu dan kesepian saya membuat saya tak berdaya untuk melihat jalan Tuhan yang terbentang di depan!

Akhirnya saya tiba di tempat retreat itu. Seseorang mengantar saya ke kamar yang akan saya tempati selama retreat. Dalam kamar tersebut sebuah ayat Alkitab sedang menunggu saya. Bersamaan dengan itu juga suatu cacatan yang menjelaskan doa yang dipilih khusus buat saya. Ayat itu muncul dari hatiNya yang terdalam:Firman-Nya:

 "Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara.
Yes. 43: 18-19

KasihNya begitu besar! Suatua pertanda akan kehadiranNya yang senantiasa dan saya tahu bahwa saya harus memusatkan perhatian pada pancaran kasihNya dan bukan pada kegelapan yang mengitari saya.

Konfrensi Paskah itu begitu menarik dan saya tahu mengapa hal itu begitu penting buat saya. Kami sharing tentang penderitaan Yesus– Detik-detik terakhir sebelum Ia menyerahkan diriNya sebagai korban tebusan dosa kita. Kami diingatkan bahwa Yesus terus menunggu kasih yang diurapi dari tiap-tiap kita!

„Meditasi akan penderitaan Yesus adalah juga bahagian masa kini, sebab bagi setiap hati yang sungguh mengasihiNya, tidak akan merasa puas hanya dengan makna kebangkitanNya. Kita harus bertanya pada Yesus ‘Dengan harga apa Engkau telah melewati semua jalan itu?’ Dan kita satu sama lain harus bersedia memperbincangkan tentang penderitaanNya yang terdalam, sebab demi kitalah Ia taat sampai ke kayu salib. Perayaan paskah sama sekali akan kehilangan maknanya jika kita tidak turut merasakan kematianNya.“

Orang Jerman yang telah mengkoodinir retreat paskah tersebut, nampaknya punya kasih khusus pada Israel dan orang Jahudi. Hal ini sangat mengejutkan saya. Tapi lagi-lagi saya telah membatasi kemampuan Tuhan yang telah menyingkapkan kebenaran dan karya pertobatan dalam hati manusia manapun. Berikut ini adalah isi topik doa mereka buat Israel:

„Bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah; mereka adalah bangsa yang sangat dikasihiNya. Alkitab berkata tentang mereka, ‘Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.’(Roma 11: 29) Kita harus mengasihi semua yang dikasihi Tuhan, kita saling mendoakan dan saling memberkati. Kita orang Jerman punya alasan khusus untuk berdoa buat bangsa Israel. Kita telah melukai biji mata Tuhan. Kita telah memperlakukan mereka di luar kemanusiaan yang mengorbankan enam juta jiwa. Allah menunggu penyesalan kita agar Dia mengampuni dan memberkati bangsa kita. Bukankankah IA menantikan sikap hati kita yang tulus untuk mendoakan dan memberkati bangsaNya? Doa-doa kita akan menolong munculnya hari-hari di mana mata orang Jahudi menjadi terbuka untuk melihat sang Mesias mereka. Saat ini dimana umat Israel semakin menjadi pusat perhatian dunia, secara khusus Tuhan menantikan doa-doa kiata untuk bangsa pilihanNya itu.“

Anda dapat membayangkan betapa hal itu menjadi penghiburan besar buat saya.

Setelah Retreat tersebut Kalaus datang menjemput saya, suatru hal yang sangat menyenangkan dapat bertemu kembali dengannya. Mulai kami naik di mobil sampai kami tiba di Castrop-Rauxel, lebih kurang dua jam perjalanan kami tidak pernah putus bercerita. Ibunya telah menunggu kami di pintu masuk ketika kami tiba dan detik itu juga saya sudah menyeanaginya! Klaus telah menerima undangan dari teman-temannya di Muenchen, maka kami merencanakan untuk berangkat hari Jumat. Ibu Klaus menyediakan makan siang buat kami di perjalanan. Saya belum pernah melihat makanan sebanyak itu sepanjang hidup saya!  „Klaus, kamu yakin kalau perjalanan ke Muenchen itu tidak lebih dari satu minggu?“, tanya saya setelah memuat semua itu di bagasi. „Bagaimana mungkin kita dapat menghabiskan semua ini?“

Perjalanan ke Muenchen sangat menyenangkan. Kami tiba sore hari. Kami langsung ke rumah temannya, yaitu sepasang suami istri yang dia kenal di Israel. Dan sebagaimana umumnya dalam keluarga Tuhan, kami segera menjadi akrab.

Saya merasa takut sebelum berangkat ke Jerman dan tidak tahu sama sekali tentang apapun yang akan terjadi, saya sungguh tidak punya persiapan menghadapi sikap teman -teman Klaus tersebut. Ketika kami tiba, Klaus dalam bahasa jerman menjelaskan kepada mereka bahwa saya adalah orang Jahudi yang percaya pada Yesus dan yang sedang dalam perjalanan kembali ke Israel. Reaksi kekaguman mereka itu sampai sekarang masih terlukis di benak saya. Sejak detik itu saya diperlakukan dengan penuh kasih sayang yang belum pernah terbayangkan oleh saya.

Mereka segera mengajak saya ke dapur untuk lebih menghangatkan badan. Sang Opa Guse meletakkan botol panas dibawah kaki saya dengan penuh kasih, yang mengingatkan saya akan tindakan Yesus ketika Ia membasuh kaki murid-muridNya! Oleh karena usianya yang lanjut, sebenarnya ia selalu merasa payah untuk berdiri, tapi kini ia datang setiap menit untuk menanyakan apakah botol tersebut cukup panas atau letaknya masih baik untuk menghangatkan kaki saya!

Selama dua hari kami tidak berbicara satu dengan yang lain oleh karena masalah bahasa, namun saya yakin kasih mereka yang tuluslah yang telah membuat saya tak mampu berkata-kata.

Akhirnya saya mengerti bahwa setiap orang yang terbuka pada kasih Yesus di Jerman turut merasakan kepedihan dan luka hati Yesus akan semua yang telah terjadi menentang bangsaNya di negara ini. Rasa bersalah mereka begitu besar dan mereka dianugrahi kasih yang khusus buat orang Jahudi.

Kemudian sore itu juga Nyonya Guse membawa Klaus dan saya mengunjungi Dachau (Salah satu pusat penampungan orang Jahudi, dimana mereka diperlakukan secara biadab hingga mati). Pemandangan itu begitu menyakitkan dan saya sangat bersyukur ketika kami harus meninggalkan tempat itu.

Hari berikutnya kami semua pergi ke gereja dan setelah makan siang Klaus dan saya harus berangkat kembali. Kepada temannya saya berkata, „Kasih yang kamu tunjukkan selama dua hari ini pada saya, telah membuka mata saya untuk melihat betapa indahnya, jika Yesus datang kembali dan kita semua saling mengasihi! „Terimakasih banyak untuk pelajaran yang dalam yang kamu ajarkan pada saya selama dua hari ini!“

Waktu bersama Klaus dan keluarganya  berjalan berlalu begitu cepat, kini saya harus segera naik KA menuju Brussel dimana saya rencanakan untuk menginap satu malam di rumah seorang teman dari Amerika. Teman saya berjanji akan menjemput saya di pusat Brussel, maka saya mengambil KA pertama langsung menuju Brussel! Baru saja saya berjalan beberapa meter, saya berpapasan dengan seorang pemuda yang berdiri di pojok jalanan berbicara tentang Tuhan. „Apakah anda mau buku kami ini?“ tanyanya.

„Tidak, terimakasih, saya tidak perlu membaca tentang Dia. Saya kenal Dia melalui kasih AnakNya!“
„Maksud anda Yesus?“
„Ya,“,jawab saya.
„Baiklah, katanya. „Saya ingin bercerita pada anda tentang Dia. Bolehkah saya mengundang anda untuk minum kopi? Saya sendiri sebenarnya sudah ingin beristirahat sebentar.“

Saya tahu bahwa hal itu bukan kebetulan. Namun kali ini saya harus belajar sesuatu yang tidak pernah saya harapkan! Ia menuntun saya ke sebuah kedai kopi kecil dan mulai mengeluh karena ia harus membyar kopi tersebut.

„Baiklah, dengan senang hati saya akan membayarnya“, jelas saya.
„Tidak, tidak apa-apa.“ jawabnya lalu kami duduk.
„Mengapa anda percaya pada Yesus?“, tanyanya. Sebelum saya menjawab ia meneruskan, „anda mau kemana?“
„Ke Israel,“ jawab saya.

Wajahnya berubah. „Mengapa anda pergi ke Negara Setan itu? Orang Jahudi telah menghancurkan dunia ini, seharusnya mereka dilenyapkan. Pimpinan kami pergi ke Israel dengan pesan yang benar, tapi mereka menolaknya. Mereka benar-benar keras kepala.“

„Siapa pimpinan anda itu?“

Saya mulai mengerti bahwa dia adalah anggota sekte, „Children of God.“Dia menunjukkan buku petunjuk mereka itu pada saya. Di dalamnya saya melihat lembaran-lembaran dari setan. Namun ia tetap yakin terhadap orang-orang di dalamnya. Bagaikan racun, dan saya mengembalikannya padanya. Saya coba untuk menjelaskan bahwa ia dapat dibebaskan oleh Yesus, tapi nampaknya ia sungguh mengyakini apa yang sedang dia percayai itu. Setiap kata-kata yang saya ucapkan masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Setelah kami habis minup kopi ia mendampingi saya menuju jalan besar.

„Anda harus mencari jalan yang benar,“ katanya, „dan Allah telah menolak orang Jahudi, maka kalau anda menolong mereka, anda akan benar-benar dibinasakan.“
„Tidak,“ jawab saya dengan sedih. „Tuhan tidak pernah menolak orang Jahudi. Sebaliknya saya takut kalau-kalau Andalah yang hilang. Betapa menyedihkan, sebab Allah telah menyediakan kesempatan buat tiap-tiap kita dan anda telah memilih yang salah! Mungkin satu saat anda akan meminta kasih Yesus buat anda.“

Jawabnya ialah berlalu dari saya.

Alkitab berkata bahwa pada akhir zaman segala bangsa dari ke empat penjuru bumi akan memusuhi orang Jahudi. Ini adalah kali pertama saya sebagai orang percaya dikonfrontasikan dengan kenyataan itu dan secara instink saya tahu pikiran demikian telah meracuni banyak orang. Jika seandainya Hitler masih hidup hari ini, saya yakin ia masih akan meneruskan ambisinya. Saya begitu sedih melihat banyak orang muda yang dengan mudah dikelabui. Yesus datanglah segera!

Saat-saat bersama teman Amerika saya itu sungguh indah! Mereka mengajak saya makan siang ke restoran Perancis yang amat luxus. Kemudian mereka mengajak saya untuk mengitari kota Brussel yang indah itu!

Hari berikutnya saya berangkat lagi. KA tersebut meluncur melewati Belgia dan akhirnya tiba di sebuah kota kecil di tepi pantai. Dari sana saya naik Ferry sampai ke Inggris. Walaupun jarak antara Stasiun KA Api dengan Ferry itu agak jauh namun saya menikmati udara segar itu.

Akhirnya saya naik dalam Ferry dan menemukan tempat duduk dan dengan sedikit tegang saya mengamati perjalanan melalui Terusan Inggris. Segera setelah tebing putih dari Drover muncul, sayalah satu-satunya dari penumpang yang keluar dalam udara dingin itu!

Setelah berlabuh, kami harus menunggu lama sampai kami boleh keluar dan setelah keluar masih harus menunggu giliran pemeriksaaan sampai saya dapat giliran.

„Bewrapa lama rencana anda untuk tinggal di Inggris?“ tanya pegawai duane.
„Satu bulan.“
„Anda mau kemana dari sini?“
„Ke Israel.“
„Berapa banyak uang anda punya?“
„Limapuluh pounds sterling,“jawab saya dengan tegas. (Uang itu saya dapat sebagai kelebihan uang pajak saya dan bagi saya hal cukup banyak!)
„Bagaimana dengan tiket anda ke Israel?“
„Sekarang saya belum punya.“
„Mengapa anda mengunjungi Ingris?“
„Adik saya tinggal di sini,“ jawab saya dengan mulai rasa jengkel atas semua pertanyaan-pertanyaannya.
„Apakah dia punya telefon?“
„Saya rasa tidak.“
„Kami tidak bisa mengeluarkan Visa kecuali anda punya tiket untuk meninggalkan Inggris atau punya bukti bahwa anda punya keluarga di sini. Silahkan menunggu di sana.“ Dia menunjuk ke arah kursi di bagian pojok. Saya pergi ke tempat duduk dan hampir menangis oleh rasa dongkol. „ Tuhan, bagaimana hal ini bisa terjadi? Semua pintu ke Inggris telah terbuka, kini saya sudah berada di sini, ternyata saya tidak boleh memasuki negara ini?“ Hal yang sama sekali tak saya duga. Akhirnya setelah semua penumpang melewati pemeriksaan dan meninggalkan tempat itu, pegawai pajak tersebut memanggil saya.

„Kami akan memeriksa barang-barang anda. Silah membukanya,“ perintahnya.

Airmata saya mengalir karena saya benar-benar merasa direndahkan. Saya membuka Ransel saya yang kecil dan dia ingin agar saya mengeluarkan semua isinya. Semuanya adalah barang satu-satunya milik saya di dunia ini! Akhirnya ia mulai memeriksa surat-surat saya dan mau membacanya.

„Oh, mengapa Tuhan?“
„Coba pikirkan apa yang sedang dibacanya,“ jawab Tuhan. Dan dengan yakin pegawai pajak itu telah membaca surat yang menceritakan kasih Tuhan terhadap manusia itu satu persatu! Akhirnya saya menyadari bahwa dalam segala sesuatu Tuuhan punya maksud tertentu. Saya berdoa akan hikmatNya.
„Apakah anda pernah mendengar tentang hidup beriman?“ tanya saya, lalu saya mulai memberi kesaksian tentang jalan hidup saya dengan Yesus dan kuasaNya yang menyediakan tiket pada saat saya harus terbang! Dan kasihNya begitu luar biasa!“ kata saya mengakhiri.

Sementara saya bersaksi, sang pegawai pajak tersebut dengan sibuk memeriksa semua barang-barang saya tak menjawab sepatah katapun. Akhirnya ia berkata: „Tidak ada jalan keluar untuk memberikan Visa tinggal di Inggris kecuali anda punya tiket atau punya cukup uang pembeli tiket atau membuktikan bahwa anda punya keluarga di sini. anda tidak punya tiket, tidak punya uang dan tidak punya bukti.“ Hati saya menjadi kecut.

Kemudian dia tersenyum untuk pertama kalinya ketika ia menghadap saya. „Tapi,“ terusnya, „ saya percaya pada cerita anda. Saya harap anda memaafkan saya akan semuanya ini, namun kita harus memisahkan padi dari jerami!“

Kemudian sayapun jadi terawa. „Saya akan memberikan visa untuk satu bulan dan jika anda ingin memperpanjangnya, dengan disertai oleh adiknya, anda akan dengan mudah mendapatkannya.“

Saya berterimakasih padanya dan bersaksi, bahwa Yesus telah mengijinkan segala kesulitan itu terjadi pada saya, karena Yesus mengasihinya. Dia menjawab bahwa ia juga adalah kristen, namun ia tidak mengenal Yesus secara pribadi. „Namun saya mau dan akan merenungkan semua yang anda katakan. Dan saya dapat merasakan bahwa ia berkata-kata dengan serius.

Saya meninggalkan tempat itu satu jam lebih lama dari pada yang lain, tapi dengan visa di kantung dan puji-pujian dalam hati. Betapa ajaibnya jalanMu Tuhan!

Saya mengambil KA berikutnya ke London dan ketika saya tiba di satasiun Voctoria saya merasa terhilang ditengah-tengah kebesarannya. Mengingat bahwa saya ingin menuju Tiverton, salah satu kota kecil di Devon di mana adik saya tinggal,maka saya harus terlebih dahulu naik KA bawah tanah ke satu stasiun dan dari sana ambil KA langsung menuju Devon.

Devon yang terletak di luar kota itu adalah sebuah desa yang sangat indah dengan ketenangan dan pemandangan yang menghijau. Saya menikmati pemandangan indah tersebut ari jendela selama 3 jam sampai kegelapan di luar mengharuskan saya untuk mengalihkan pandangan kearah lain!

Ketika saya tiba di Tiverton waktu menunjukkan jam 10 malam dan ketika saya mengetahui bahwa dari stasiun tersebut saya masih harus naik bus sepanjang 10 Km, ternyata bus yang terakhir sudah berangkat sejam lebih cepat!

„Tidak lucu!“ pikir saya. Saya sudah begitu dekat ke rumah adik saya, namun saya tidak bisa menemuinya!

Akhirnya saya menemui pejabat dalam stsiun. „Saya tidak tahu mau buat apa bagi Nona,“ jawabnya dengan logat yang amat aneh di telinga saya. „Saya pikir taxipun tidak akan ada lagi mala seperti ini!“

„Tolonglah telefon satu taxi buat saya,“ ucap saya memelas.

„Baiklah Non, namun jangan terlalu berharap. Supir taxi pertama yang menerima telefonnya, menolak tapi yang kedua bersedia datang. Hanya beberapa menit kemudian saya sudah berada di depan pintu rumah adik saya!

„Hai Eileen!“ Seru Cathy ketika ia membuka pintu. „Silahkan masuk kami senang sekali bertemu denganmu!“ Saya begitu gembira boleh bersama Cathy kembali dengan suaminya Bev orang Inggris itu.

Apa yang terjadi dua minggu berikutnya memberi arti yang samar buat saya tentang tulisan Paulus kepada jemaat Ibrani:

„Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.“
Ib. 12: 11

Adik saya Cathy 10 th. lebih muda dari saya, maka tidak heran ketika ia berusia 6 th. dan saya 16 th. satu-satunya kebersamaan kami ialah kami berdua punya orangtua yang sama! Saya punya kenangan lucu dari dia (misalnya, ketika pertama kali saya membawa seorang teman pria ke rumah, dengan nada memerintah ia berkata, „Cium dia! Cium dia!“ Hampir saja saya mencubitnya!) Tapi ketika dia menginjak masa remaja dan saya baru saja menikah (bahkan setelah saya bercerai), ia sering menghabiskan musim panas di rumah kami di Connecticut. Kami menjadi sangat akrab. Saya menyayangi dan menghargai dia dan kami sama-sama gembira khususnya dengan anak-anak. Kami berdua juga senang membuat lelucon tentang hypokrasi.

Jika kami pergi belanja besar-besaran, ia akan pergi ke arah satu ujung dan saya pergi ke arah ujung yang lain. Kemudian kalau kami bertemu kembali, dia akan berseru, „Eileen luar biasa, bertahun lama saya tidak melihatmu!“

„Cathy saya tidak percaya hal itu! Bagaimana keadaanmu?“ (Sementara itu orang banyak di sekitar kami akan mendengarnya.)
„Eileen kamu nampak muram! Apa yang terjadi? Kamu kelihatan sepuluh tahun lebih tua!“
„Dan, waduh, kamu juga tambah gemuk! Dan nampaknya tidak ada selera untuk berdandan dengan pakaian yang serasi!“
Saya jadi sedih, saya tahu, namun yang lainnya akan menjadi tercengang-cengang!

Kali ini adalah kunjungan pertama saya sejak bertahun-tahun dan khususnya setelah saya menerima Yesus. Dia dan suaminya Bev benar-benar berbahagia, namun dibandingkan dengan keadaan saya setelah mengalami kasih Yesus, keadaan mereka menjadi hampa! Saya ingin sekali membuktikan kepada mereka betapa besarnya kasih Yesus itu!

Saya begitu sering berbicara tentang Dia, akibatnya jadi batu sandungan. Saya sungguh menginginkan agar mereka mengenal kasihNya, namun saya sama sekali tidak punya kesabaran untuk menyerahkan dan mempercyakan semua itu kedalam atangan kuasaNya. Maka walaupun saya berbira banyak, tapi karena tanpa pengurapan Tuhan, semuanya menjadi kata-kata kosong. Tanpa kehadiran Tuhan.

Kenyaatan lebih parah lagi. di sini saya akan mengutip catatan harian saya:

„18 Mei 1977: Sudah empat hari lamanya saya merasakan tekanan berat dari si setan. Tekanan yang menyerang saya setiap menit. Hal yang menolong saya untuk mengerti pergumulan berat. Semenjak peristiwa yang mengerikan dengan setan dua tahun yang lalu, kini saya baru menyadari bahwa ternyata hanya kasih Yesuslah yang telah melindungi saya tiap-tiap hari. Saya tahu hal ini  adalah persiapan kembali ke Israel, dimana peperangan rohani begitu kuat. Dalam bungkusan kasih Yesus, sekaligus menjalani jalan salib, sukar untuk membayangkannya. Namun tekanan dari si setan membuatnya semakin nyata.

Saya tidak lagi merasakannya, namun saya tahu tangan Yesus mengenggam saya erat-erat. Saya sangat berterimakasih untuk kesempatan menderita bagiNya walaupun ini hanya penderiataan sederhana.

Tadi malam sebelum saya tidur dalam cengkraman si jahat itu Yesus memimpin saya untuk menyanyikan dua pujian dari buku nyanyian:

‘Yesus ini aku
rindu mengikut jalanMu
tanpa mengindahkan kesusahan dan penderitaan
hidup untuk menyukakan hatiMu
Ambillah hidup saya, inilah doaku.
Aku merindukan jalanMu.’

‘Hatiku menemukan perlindungan
Oh tuhan padadMu,
Di tengah-tengah badai yang mengamuk,
Engkaulah benteng penolongku.
TanganMu yang kokoh akan berpera melawan musuh
meja makan telah tersedia
cawankupun melimpah.’“

Saya memuji Tuhan untuk pengalaman dan ujian iman saya tersebut. Hari-hari yang kelam, namun saya dapat melaluinya tanpa ketakutan.

Minggu terakhir saya berada di Tiveron, yaitu menjelang akhir minggu kedua, tiba-tiba semua berubah total Hal itu terjadi pada hari sabtu malam. Roh Tuhan mulai bekerja, tekanan dari si jahatpun hilang lenyap.

Malam itu Elisabeth, teman adik saya merasakan jamahan kasih Yesus. Kesukaan yang berlimpah meliputi hatinya.

„Engkau tidak akan bisa membayangkan apa yang telah terjadi,“ katanya. „Kamu tahu betapa tegarnya orang inggris dan tidak suka menunjukkan expressi emosionalnya?“ Saya mengakuinya. „Baiklah,“ lanjutnya, „Namun saya pergi ke pendeta Gerja St. Gregor, sambil memeluknya saya katakan, „Kasih Yesus itu ajaib buka?’ beliau begitu terperanjat, sampai-sampai beliau hanya tertegun bagaikan patung.“ Kami berdua tertawa penuh sukacita. Hari berikutnya Tuhan mengutus saya ke gereja babtis di Tiveron untuk mengikuti kebaktian pagi. Setelah kebaktian, secara iseng saya membalik-balik lembaran sebuah bulletin. Di sana saya membaca „PRANGKO BUAT ISRAEL“. dari situ saya merasa bahwa jemaat ini punya beban untuk Israel. Ketika saya berjabatan tangan pada sang pendeta, saya menjelaskan bahwa saya orang jahudi yang percaya pada Yesus dan sedang dalam perjalanan ke Israel.  Penjelasan ini disambut hangat dan beliau mengundang saya untuk hadir pada kebaktian malam untuk membagikan pengalaman saya pada jemaat. Sukar membayangkan hal-hal yang terjadi berikutnya!

Kesaksian saya malam itu telah membuka pintu bagi persekutuan-persekutuan yang begitu indah di Tiverton. Setelah kebatian berakhir, dua Ibu tua, Nn.Dennis dan Nn.Lee, mengundang saya minum teh pada hari Jumat sore. „Kami telah mengumpulkan prangko untuk Israel sepanjang hidup kami,“ ucap salah seorang dari mereka pada saya sedang yang seorang lagi menderita stroke, maka beliau tidak bisa berbicara, namun kehangatan kasihnya ketika beliau memeluk saya cukup menggantikan kata-katanya. Mereka begitu mengasihi Israel dan orang Jahudi dan betapa bahagianya saya dapat berkenalan dengan mereka.

Malam itu saya juga diundang untuk mengikuti persekutuan pemuda yang sangat menyenangkan hati saya. Saya sempat berbicara secara pribadi dengan John Rivers, salah satu anggota yang baru saja setahun menjadi percaya. „Tahun yang paling mengagumkan dalam hidup saya,“ ucapnya.

Hari berikutnya saya mendampingi adik saya ke Pekan di mana para petani membawa hasil kebun mereka untuk dijual dan sekaligus membeli kebutuhan mereka itu. Di sana saya diperkenalkan pada seorang pemuda bernama James dan saya sempat bersaksi padanya tentang keajaiban jamahan Tuhan dalam hidup saya.

Tanpa sepengetahuan saya, namun jelas dalam penglihatan Tuhan bahwa James dan John Rivers setiap hari selalu bersama mengenderai mobil ke tempat kerja. Hari berikutnya, James bercerita kepada John dalam mobil tentang wanita yang menceritakan kasih Yesus masih relevan hari ini. „Saya kenal beliau dan saya juga punya iman yang sama,“ jawab John. Kemudian John menceritakan, betapa kasih Yesus telah menyentuh hatinya beberapa bulan sebelumnya dan pengalaman itu terus hidup dalam hidupnya. Walaupun mereka setiap hari pergi dan pulang bersama ke tempat kerja, namun sebelumnya John tidak punya kesempatan yang tepat untuk menceritakan pengalamannya pada James. Hari berikutnya James bertobat sebagaimana Elisabeth dan saya yakin bibit-bibit lainnya sudah ditaburkan. Sukacita yang baru ditemukannya tidak mungkin akan hilang.

Beberapa hari berikutnya James mengunjungi saya di rumah adik saya. Ia menceritakan kisah yang meluluhkan hati, yang telah membebaninya berbulan-bulan lamanya. Setahun yang lalu, ketika ia mengenderai mobilnya, terjadi kecelakaan, yang mengakibatkan temannya yang duduk berdampingan dengan meninggal dunia.Sejak itu perasaan bersalah dan sedih telah menguasai hidupnya. Ketika ia menceritakan hal itu, saya tahu bahwa Yesus rindu mengangkat semua beban tersebut dari padanya dan menjamahnya dengan penuh kasih.

„James, kamu mengingat kasih Yesus yang saya ceritaka padamu di Pekan itu?“ IA mengangguk. „PengampunanNya sama nyatanya dengan kasihNya. Satu-satunya yang kamu perlukan ialah berdoa. Mintalah agar Yesus masuk dalam hatimu, maka dalam sekejap itu Ia akan melenyapkan bebanmu. Pada saat engkau mengambil langkah berbalik ke padaNya, segala dosa yang engkau nyatakan akan segera diampuni dan dilupakan Tuhan. Engkau akan mengetahui bahwa kasihNya bagimu adalah nyata dan kekal, terserah apapun yang engkau lakukan sebelumnya. Maukah engkau berdoa bersama dengan saya?“ Tanya saya dengan bijaksana dan ia mengangguk tanda setuju.

Kamu berdoa duluan. Bukalah hatimu bagi Yesus. Mintalah agar Dia masuk dalam hatimu dan mengampuni segala dosamu. Lalu mintalah agar Ia mengambil segala bebanmu atas kematian sahabat karibmu. Kalau kamu selesai saya akan berdoa buatmu.“

Ketika dia selesai berdoa, saya menumpangkan tangan saya di atas bahunya dan bersyukur akan pengampunan Tuhan atas dosanya, atas beban-bebannya yang telah diambil dan agar hatinya dipenuhi dengan kasih Tuhan.

„Kuasa apakah yang kamu miliki di tanganmu?“ tanyanya ketika saya selesai berdoa. Kini saatnya sayalah yang diberkati.

Itu bukan saya James, bahkan saya sendiri tidak tahu apa-apa. Kasih Tuhanlah yang telah disalurkan melalui Roh Kudus untuk menyucikan dosa-dosamu dan merubahmu menjadi manusia baru di hadapan kesucian Tuhan!“

Sejak awal pembi´caran kami, saya merasakan kuasa tuuhan dan James menyadari hal itu. Suatu pengalaman yang luar biasa buat saya.

„Apakah kamu sekarang merasakan pengampunan atas kematian sahabatmu?“ tanya saya. Sebenarnya saya tidak ingin mengungkap-ungkap kembali masalah itu, namun hal itu sangat penting untuk diketahui. Pancaran sukacita di wajahnya sukar untuk dilupakan. „Ya,,jawabnya.“ „Ketika kitaa berdoa saya merasa seolaholah beban berat di hati saya selama ini telah hilang begitu saja.“

„PengampunanNya adalah nyata dan hal itu adalah anugrah kemurahanNya bagi kuta. Sekarang kamu harus lebih banyak membaca Alkitab agar kamu dapat mengenalNya lebih dekat dan menaati kehendakNya, ucap saya.“

Beberapa waktu kemudian James pulang, kami berdua sungguh merasa diberkati.

Sorenya adalah kunjungan ke rumah Ibu.Denis dan Ibu.Lee. Beliau berdua ini telah memasak empat macam kue dan biskuit atas kehadiran saya dan memperlakukan saya bagaikan tamu agung.

Sebelum saya meninggalkan mereka kami berdoa. Secara bersamaan kedua ibu tersebut bertelut. Air mata sukacita saya bercucuran membayangkan betapa Tuhan bersukacita di surga melihat kesederhaan dan kasih mereka yang dalam kepadaNya. Mereka menyerahkan setumpuk Alkitab untuk saya bawa ke Israel.

Hari berikutnya sayamnegunjungi Pendeta dari gereja Anglikan, yaitu Mr.Craig.beserta istrinya. Suatu kunjungan yang amat menyenangkan. Mereka minta agar saya menceritakan pengalaman saya bersama Tuhan. Kemudian sang pendeta berkata: „Nampaknya kamu punya hubungan pribadi yang sangat akrab dengan Tuhan. Hal seperti itu biasanya sangat jarang dan tentu tidak untuk setiap orang.“

„Saya pikir pengalaman saya tidak aneh, jawab saya.“ „Kasih Yesus adalah bagi kita semua. kita tidak memeerlukan kwalifikasi khusus untuk mengenalNya kecuali membuka hati kita.“

„saya maengerti maksudmu.“ Jawab Mrs.Creig. „Saya telah membaca buku-buku yang menceritakan bagaimana kasih Tuhan menjamah hati banyak orang...“

Sang pendeta mengalihkan pokok pembicaraan dan saya mengerti bahwa sudah saatnya buat saya untuk kembali. Namun saya tahu bahwa benih telah ditabur, paling tidak untuk istri sang pendeta.

Kunjungan saya yang kedua hari itu ialah ke rumah Sang pengawas Gereja Babtis yang tinggal di jalan yang sama di mana adik saya tinggal. Mereka menyambut saya dengan hangat dan anak perempuan mereka satunya-satunya, yaitu Sarah meneriakkan kehadiran saya.

„Eileen, saya telah berdoa agar kamu datang! Saya telah mengusakan agar kamu besok boleh berbicara dalam rapat guru-guru dan menggantikan les agama di kelas saya jam 10 pagi. Ia berkata bahwa saya diberi waktu enam menit berbicara di depan para guru, kemudia satu jam mengajar dalam kelas. „Kamu harus berbicara mengenai Israel!“

Saya benar-benar dikejutkan. Di rumah saya mendoakan hal itu. Betapa besarnya kuasa roh kegelapan di Inggris, bagaimana cara saya untuk menyampaikan sesuatu dari Tuhan dalam waktu enam menit? Setelah beberapa menit berdiam diri, saya tahu bahwa saya harus berbicara mengenai nubuatan Alkitab tentang Isarael yang sedang digenapkan. Menyatakan pertolongan Tuhan atas bangsa yang kecil itu dan topik doa bagi „Kesejahteraan Jerusalem.“

Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem: "Biarlah orang-orang yang mencintaimu mendapat sentosa.
Mazmur 122: 6

Keesakan harinya, tepat jam 10 pagi Kepala Sekolah dan saya berjalan bersama menuju Auditorium. Saya diperkenalkan dan sekaligus diingatkan agar saya tidak berbicara lebih dari enam menit. Saya berjalan menuju podium dengan sedikit tegang karena melihat wajah-wajah kurang simpati. Saya benar-benar merasa tak berdaya. Saya mulai dengan mengutip ayat-ayat Alkitab yang menyatakan mujizat Tuhan tentang lahirnya bangsa Israel dan mencoba menjelaskan kasih Tuhan yang nyata dalam hidup kita secara tidak langsung. Persis setelah enam menit, saya meninggalkan podium tersebut dap pertemuan tersebutpun berakhir.

Kemudian saya memasuki kelas. Banyak siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sebab guru mereka telah mencoba mengyakinkan mereka bahwa Tuhan itu sudah mati. Saya semakin merasa tak berdaya. Saya berbicara mengisi satu jam itu dengan tidak terlalu memperhatikan pertanyaan-pertanyaan mereka yang dianggap inteligen itu melainkan lebih memberi perhatian bagi mereka yang nampaknya serius untuk mendengar. Saya yakin bahwa Yesus akan menyirami benih yang ditaburkan. Setelah jam itu berakhir, saya sama sekali merasa tak berdaya lagi. Sementara berjalan menuju pintu keluar, saya manfaatkan kesempatan terakhir.“Saya pikir anda mengharapkan terlalu banyak Mr. Evan,“ ketus saya kepada sang guru. „Satu saat anda menanyakan Yesus tentang pendapatNya atas hal itu. Asal anda siap untuk mendengar jawabanNya.

Nampaknya sepanjang minggu tersebut penuh dengan pengalaman. Sebuah pengalaman bejalan bersama Yesus. Tak seorangpun tahu tentang pimpinanNya yang berikut.

Pagi hari berikutnya, Cathy, Bev dan saya, kami bersama-sama berangkat menuju London untuk tiga hari. Pada hari pertama Cathy dan Bev harus menyeleseikan banyak hal di sana, maka kami memutuskan untuk menghabiskan hari ketiga bersama-sama mengadakan Royal Tour di London.

Hari pertama saya mengikuti sebuah konverensi yang saya dengar sewaiktu kami masih di Tiverton. Setelah pertemuan tersebut saya menemui sepasang Jahudi yang percaya bernama Daniel dan Ruth. Kami berbincang-bincang sejenak. Persis sebelum mereka meninggalkan tempat itu mereka menyerahkan alamat dan nomor telepon mereka pada saya. „Siapa tahu anada harus tinggal lebih dari tiga hari di London, kami akan senang sekali menjamu anda, silahkan hubungi kami.

Visa saya untuk satu biulan di Inggris sudah hampir berakhir dan saya tahu bahwa Tuhan tidak menghendaki agar saya memperpanjang visa lagi. namun saya tahu bahwa minggu berikutnya saya harus berangkat dari London ke Venice dengan „The Magic Bus“ dan adari sana saya harus memesan tiket kapal Italia, „Lovorno“. Tiket bus tersebut luarbiasa murah, hanya $40.00 ditambah dengan biaya-biaya lainnya semuanya hanya $110.00. saya menghitung-hitung semua uang saya, ternyata saya hanya punya sepertia dari biaya. Lagi-lagi saya harus mempercayakan diri pada pemeliharaan sang Bapa.

Hari berikutnya saya menelepon seoarang pendeta bernama Rob di London yang punya beban buat Israel. Sementara berbicara dengannya, saya sangat yakin Tuhan menghendaki agar saya minta uang sebanyak 50 Pounds.

Tuhan mengingatkan saya juga bahwa saya tidak boleh meminta uang dari siapapun kecuali bila Tuhan memerintahkan saya untuk melakukannya. Hal ini hanya satu pengajaran tentang ketaatan dan bukan sebuah hukum. Dengan taat saya lakukan. Pdt.Rob berjanji akan mendoakannya lebih dahulu dan kemudian akan menelepon saya. Satu jam kemudian ia menepon.

„Eileen, mujizat luarbiasa telah terjadi. satu menit setelah saya berbicara denganmu, seorang ibu muda datang ke kantor saya membawa persembahan khusus buat  Jahudi yang percaya.“
„Luarbiasa,“ jawab saya.
„Dan persembahan terbut benar-benar 50 pounds. Setelah saya doakan, Tuhan berkata, bahwa itu adalah untukmu.“
Itulah rupanya mengapa Tuhan memerintahkan agar saya meminta. Tuhan tahu bahwa persembahan itu sedang dalam perjalanan dan Rob harus tahu bagaimana ia menggunakannya.

Kemudian Rob mengundanga saya untuk menghadiri suatu pertemuan dimana Film tentang Israel akan diputar pada hari Selasa malam. Ia menjelaskan tempat itu dan berjanji akan menyerahkan uang itu buat saya di sana. Maka nampaknya saya harus tinggal lebih dari tiga hari di London.
Sesuai dengan rencanaNya, saya menelepon Daniel dan Ruth. „Coba terka?“ tanya saya pada Daniel ketika dia mengangkat telepon.
„Hore, kamu akan datang untuk menginap di rumah kami!“ Dengan penuh sukacita menyambut saya dia menjelaskan di mana mereka tinggal, sebab mereka sendiri telah berencana untuk mengikuti acara pada hari selasa malam itu.

Hari berikutnya Cathy, Bev dan saya, melaksanakan rencana kami semula untuk mengunjungi Kerajaan Inggris, ternyata hari itu bertepatan dengan pesta perayaan masa jabatan Ratu yang ke XXV tahun, maka London sangat dipenuhi oleh pengunjung. Kami tiba di Istana Buckingham persis ketika pawai Drumbend baru memulai persiapan mereka. Lalu kami pergi ke Westminter Abbey di sana kami tiba tepat pada waktunya untuk menyaksikan Tari-tarian Daerah. Kemudian kami mengunjungi Theater „St.Joan of Arc“ untuk menyaksikan kisah „Anak Dara dari Orlean“. Betapa mengagumkan, melihat keberaniannya untuk menghadap di depan Raja-raja tanpa gentar sedikitpun, sebab beliau yakin akan pimpinan Tuhan atas hidupnya. Hari itu sungguh menjadi hari yang penuh kenangan indah bagi saya.

Hari berikutnya Cathy dan Bev kembali menuju Tiverton dan saya tinggal bersama Daniel dan Ruth. (Saya merencanakan untuk kembali ke Tiverton dua hari sebelum keberangkatan saya ke Israel agar saya masih punya cukup waktu bersama adik saya.)

Ketika saya tiba di rumah Daniel dan ruth mereka segera minta maaf karena persediaan makanan mereka untuk menjamu saya sangat minim. Pada saat yang sama tuhan menggerakkan hati saya untuk mengajak mereka makan di salah-satu resatoran pilihan mereka sendiri.

Saat itu saya masih punya uang $55.00 lebih dari cukup untuk membeli tiket ke Benedik (Italia), tapi saya masih tetap belum punya cukup uang untuk membeli tiket seterusnya menuju Livorno sebagaimana saya rencakan, walaupun saya akan menerima uang yang disediakan Tuhan melalui Pdt.Rob malam itu. Dalam situasi yang demikian sama sekali tak masuk di akal bahwa uang yang sedikit itu harus dihabiskan untuk makan di restoran. Saya mulai belajar bahwa dalam perjalanan iman yang benar sering sekali langkah yang harus diambil bertentangan dengan logika dan perasaan.

„YA–TAPI::!“
“Aku akan mengikut Engkau Tuhan, tetapi...“Luk.9:61

„Seandainya Tuhan memerintahkan kepadamu sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, apakah yang akan kau lakukan? Membangkang? Jika engkau dalam kehidupan sehari-hari terbiasa melakukan apa yang menjadi kebiaasaanmu, kau akan terus melakukan hal itu sampai satu saat engkau harus merubah kebiasaan tersebut. Hal yang sama berlaku juga untuk masalah rohani. Engkau akan selalu siap untuk melakukan apa saja yang Yesus kehendaki sampai suatu saat engkau diperhadapkan dengan satu kenyataan dimana engkau harus menyerah secara total. „Ya, tapi– misalkan saya menaati Tuhan dalam hal ini – apa yang akan terjadi? ‘Ya, saya akan menaati Tuhan selama Ia mau memamakai saya dengan akal pikiran yang sehat, tapi melangkah begitu saja tunggu dulu!’ Yesus menantikan penyerahan total dari orang percaya. Pada saat engkau menyerahkan segala sesuatu kepadaNya dan menaatiNya, maka saat itu juga engkau akan mengaminkan perintahNya dengan persaan dan akal sehat. Dengan perasaan manusiawi, pernyataan Yesus bisa saja nampak tidak amasuk akal, tapi cobalah membawa hal itu dalam iman, dengan pertolongan Roh Kudus engkau akan mulai menyadari bahwa hal itu adalah Firman Tuhan. Serahkanlah hidupmu senantiasa pada Tuhan. Jika Ia membawa Engkau ke sebuah tebing, yakinlah bahwa enkau tidak akan tergelincir. Dalam keadaan yang sengit kita sering berlaku seperti orang tak beriman. Tidak banyak orang percaya benar-benar mempertaruhkan imannya dengan sifat Allah.

Oswal Chambers
My Utmost for His Highest

Benarlah bahwa jalan Tuhan jauh berbeda dengan jalan pikiran kita. Saya mengambil keputusan dan mengundang mereka untuk makan di restauran. Semula mereka menolak, akhirnya saya menegaskan pada mereka, bahwa jika saya menolak untuk memberi sesuai dengan perintahNya, itu berarti saya berhenti melakukan kehendakNya. ayo, kita harus pergi!

Ketika mereka akhirnya setuju, ruth berkata bahwa hal itu sungguh suatu kejutan dari Tuhan bagi mereka. „Paling sedikit lima tahun terakhir ini, kami tiadak pernah lagi makan di restorant karena kami benar-benar tidak punya uang“,ucapnya. Tentu Yesus telah mengetahui hal itu, maka oleh kasihNya, Ia telah mengatur sedemikian rupa untuk menjamu mereka di restorant.

Kami pergi ke restorant Jahudi yang bonafit, dimana segala sesuatu „yang mama masak“ tersedia. Sebuah pesta besar. Hari berikutnya mereka menerima cek yang tidak di duga dan mereka memberikan saya uang yang masih saya perlukan untuk membeli tiket bus.

Pada hari selasa malam kami menghadiri pertemuan tersebut. Sepasang suami istri dari Amerika mempertunjukkan film tentang Israel dan mengundang saya untuk bergabung dengan mereka dalam enam minggu Bible Study dan tour ke Israel, yang akan dimulai dua minggu setelah saya tiba di Israel. Saya menerima tawaran untuk pintu yang terbuka itu dengan pengucapan syukur.

Ruth dan Daniel meminta agar saya kembali singgah di rumah mereka setelah kembali dari Tiverton dan mereka berjanji akan mrengantar saya ke stasiun Bus menuju Italia pada hari sabtu berikutnya.Pada hari rabu pagi saya mengadakan perjalanan 3jam KA menuju Devon.

Saya bercerita kepada adik saya dan Bev tentang semua kejadian yang sama alami sejak kami berpisah. Namun saya dapat merasakan bahwa mereka melihat hubungan saya dengan Yesus terlalu extrim. Hal ini sangat menyedihkan hati saya ketika saya berdoa agar mereka sungguh mengalami sukaciataNya. „Bukan seperti yang diberikan oleh dunia, Aku berikan kepadamu..“

Hari Kamis malam tiba begitu cepat dan Jumat pagi saya harus berangkat menuju London. Saat itu saya masih belum punya uang untuk membeli tiket ke Livorno.maka sayapun membawakan hal itu pada Tuhan. JawabNya sangat jelas, „Engkau harus pergi mengunjungi sang pendeta dan istrinya untuk meminta uang dari mereka.“

Dengan langkah ketaatan saya melangkah menuju rumah tersebut, namun saya tetap berharap pada pimmpinnanNya yang jelas. Akhirnya saya mergenal peneguhanNya karena Ia memberikan rasa bangga dalam hati saya. Saya menjadi amat sedih ketika saya menyadari ketidak sediaan saya untuk menderita bagiNya. Ketika saya menekan bel saya menajadi kecut bagaikan sebuah kaleng kecil di anatara tangki-tangki minyak rasasa. Harapan saya menjadi lenyap, sebab ternyata mereka ada di rumah.

Segera setelah kami duduk diruang tamu, saya segera menjelaskan situasi bahwa Tuhanlah yang menyuruh saya mendatangi mereka untuk menjelaskan kebutuhan saya.

„Tentu kami tidak dapat menolongmu,“ demikianlah jawaban spontan dari Pdt.Craig. „Saya yakin Tuhan pasti punya cara lain dan kau tidak boleh mengharapkan orang kristen untuk menanggulai kebutuhanmu. Bahkan bisa saja bahwa Tuhan tidak menghendaki engkau kembali ke Israel. Jika itu memang kehendakNya, pastilah engkau akan mendapat jalan keluar.“

„Memang kami telah menabung uang untuk biaya liburan kami,“ ucap nyonya Craig memotong pembicaraan. (Saya tahu bahwa Tuhan akan memberkatinya atas kerelaannya untuk memberi, bahkan mungkin itulah maksud Tuhan menyuruh saya ke sana.)

„Hal itu tidak perlu didiskusikan! Kami harap urusanmu berjalan lancar,“ ucap sang pendeta sambil berdiri seolah-olah mempersilahkan saya meninggalkan mereka. Menit-menit berikutnya saya melangkah lunglai dalam kesendirian dan penantian akan penghiburanNya. JawabnNya datang sebagai kejutan.

„Mengapa engkau tidak mengasihi mereka?“ TanyaNya. Dengan sekejab Ia menyadarkan saya, bahwa saya begitu mengasihani diri saya sehingga hati saya tertutup sama sekali untuk mengalirkan kasihNya bagi mereka. Kapankah saya akan mampu untuk menyangkali diri ?

Denga rasa malau saya berjalan menuju rumah Elisabeth untuk mengucapkan selamat tinggal. saya melewati sebuah mobil terparkir ketika tiba-tiba dari dalamnya saya mendengar seruan ,“Hallo“. Saya menjadi sangat gembira, sebab ternyata John river ada di dalam. Ia sedang makan makanan khas Inggris dan saya masuk dalam mobil untuk berbicara beberapa menit dengannya.Betapa bahagianya saya dapat bertemu dengannya pada detik-detik terakhir ssaya berada di tiverton. Saya menceritakan semua pengalaman saya yang terakhir dan kebodohan-kebodohan saya akibat egoismus dan kesombongan saya. Kami berdoa bersama-sama, saya mencatat alamatnya dan berjanji akan menyuratinya dari Israel. Ia sungguh punya karunia sukacita dan saya meninggalkannya dengan kelegaan. Tuhan kita adalah maha pengampun.

Saya kembali dari rumah Elisabeth beberapa jam kemuadian dan saya menemukan Cathy dengan teman-temannya penuh kecengangan. „Cepat Eileen, buka amplop ini!, ucap Cathy ketika saya masih di pintu. „Sekitar jam 10.30, saya katakan pada teman-teman saya, ‘saya berharapa bahwa Eileen akan berhasil mendapatkan uang yang masih diperlukannya.’ dan pada detik itu juga amplop ini masuk melalui kotak surat. Jam 10.30 malam!“, ucapnya dengan suara bergetar.

Ia menyerahkannya pada saya. Saya memandanginya dengan terheran-heran. Di bagian depan hanya tertulis, „Eileen di dalam hanyalah sebuah pemerian sebanyak limabelas pound Inggris! Di dalam tak satu catatanpun menyertai uang tersebut maka saya tidak bisa tahu dari mana datangnya uang itu. Kami jadi sangat heran, bahkan adik saya yang tak percaya tersebut sukar untuk menyangkali keajaiban pemeliharaanNya. Hanya beberapa jam sebelum keberangkatan saya ke Israel tertunda.