– II –
„...sebagai orang berdukacita,
namun senantiasa bersukacita...
sebagai
orang tak bermilik,
sekalipun kami memiliki segala sesuatu“
II Kor.6:10
Yesus berkata, Mari ikut Aku.“ Panggilan ini adalah jalan pendertitaan. Jalan yang memimpin kepada kesengsaraan, kesusahan bahkan kematian. Dalam permulaan perjalanan para rasul di jalan salib, mereka dipenjarakan dan dipukuli:
„Rasul-rasul itu meninggalkan
sidang Mahkamah Agama dengan
gembira,
karena mereka
telah dianggap layak menderita penghinaan
oleh
Nama Yesus.“
Kis.5:41
Demikianlah sejumlah dari kita masa kini rela menderita demi kasih kepadaNya. Dan bahkan adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bagi kita, kalau kita belum dapat melihat penderitaanNya –sebab hanya melalui kasih kepada seseorang, kita dapat merasakan penderitaan orang tersebut.
7 Buat apa kami di Padang Gurun?
Di Lapangan Udara New York, saya dapat merasakan pergumulan Joe, ketika ia memandangi Joey dan Mike untuk terakhir kali sebelum mereka menghilang masuk ke ruang keberangkatan. Bagaimana saya dapat menjelaskan padanya bahwa saat itu adalah saat enam bulan terakhir bagi saya untuk mersama dengan anak-anak? Bahwa kami akan bersama untuk sementara terpisah dari Joe. Saat terakhir untuk bersama, kemudian gilirannya adalah, saya akan berpisah dari mereka? Sudah pasti hal ini akan meringankan kepedihannya, namun saya tidak mampu menjelaskan hal itu padanya. Bagaimana mungkin dia dapat mengerti hal itu? Dan saya masih berharap bahwa kenyataan akan berbeda.
Setelah makan malam di pesawat saya membacakan cerita pada mereka dan memberi mereka „kejutan dalam perjalanan“, hadiah kecil yang selalu saya sediakan sebagai bahagian dari perjalanan kami bersama. Ketika mereka akhirnya tidur lelap, saya tahu bahwa saya tidak mungkin bisa tidur. Saya belum bisa percaya bahwa kami sedang dalam perjalannan kami ke Israel. Melalui pimpinan Yesus yang penuh perhatian itu, membuat hal itu memberi arti yang terlalu besar buat saya. Sebagai orang Jahudi, saya sedang terbang ke rumah, ke tanah yang dijanjikan Allah sendiri menjadi kediaman bangsa Jahudi untuk selamanya! Sungguh di luar kemampuan saya untuk meyakini, bahwa Ia meggenapi JanjiNya semasa hidup saya! Ratusan tahun orang Jahudi merindukan kembali ke tanah perjanjian Tuhan. Dan disini saya dalam perjalanan menuju ke sana!
"Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti
orang-orang yang bermimpi.
Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa,
dan lidah kita dengan sorak sorai.
Pada waktu itu berkatalah orang di antara
bangsa-bangsa:
TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita
bersukacita.
TUHAN telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.“
Maz.126:1-3
Sebagai seorang yang percaya kepada Yesus, saya tahu bahwa bagi saya Israel punya makna dua kali lipat. Israel adalah tanah airku secara alamiah, dan juga negri yang sangat dikasihi Yesus; dimana Dia berjalan, mengajar, menyembuhkan, mengasihi, tertawa, menangis, menderita dan mati; dan di sana Ia bangkit dari kematian dengan kemenangan dan dari sana naik ke surga untuk duduk di sebelah kanan Allah. Tanah yang kudus! ketika pesawat landas di lapangan terbang Ben Gurion, saya hanya bisa menangis dengan terharu penuh rasa bahagia.
Setelah ketibaan kami, waktu berlalu begitu cepat oleh kesibukan-kesibukan berikut. Kami diterima sebagaimana lazimnya dan di kirim ke kantor imigrasi. Setelah semua diproses, kami mengambil barang-barang, menerima kembali surat-surat kami, kemudian kami ditempatkan ke sebuah taxi (saya pikir kami akan ke Ashdod)
Joey dan Michael telah menjadi amat lelah dan mereka berdua tertidur di pangkuan saya. Dengan mata yang terbelalak dan penuh rasa kagum, saya mengamati keindahan Israel dari jendela taxi. Saya melihat pepohonan yang dibebani oleh buah-buahan, ladang yang ditumbuhi kapas, sebuah kampung yang penuh dengan kehidupan dan berkembang, mengiangkan kembali ucapan nubuatan para nabi jauh sebelumnya:
„Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara
akan bersorak-sorak dan berbunga;“
Yes.35:1
„Maka kamu, gunung-gunung Israel, akan bertunas kembali dan
akan memberi buah untuk umatKu Isral, sebab mereka akan segera kembali.“
Yeh.36:8
„Sebab Alla akan menyelamatkan Sion dan membangun kota-kota
jehuda, supaya orang-orang diam disana dan memilikinya.“
Maz.69:36
Kami berada di rumah, sukar untuk mempercayainya!
Ladang yang hijau dan subur, tiba-tiba berubah menjadi padang gurun yang gersang. Daerah yang terpencil dan tertinggal! Saya mengamati dua ekor unta penguasa gurun pasir sedang berdiri, akhirnya samar-samar pertanyaan muncul di hati saya: Buat apa kami di padang gurun?
Dugaan saya perjalanan dari Tel Aviv sampai ke Ashdod hanya kira-kira satu jam. Maka saya tidak menyempatkan diri untuk menukar uang di lapangan terbang. Saya menduga bahwa kami bisa tiba menjelang sore di Ashdod dan masih akan ada waktu untuk merapikan barang-barang, menukar uang dan berbelanja, membeli makanan untuk kami di pusat perumahan imigrasi natinya. Tapi kini berjam-jam telah berlalu, kami masih tetap di taxi! Supir taxi itu sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, dan dalam bahhasa Ibrani saya hanya biasa menyebut „shalom“ dan ucapan berkat lilin hari sabat, tentu tak satupun daripadanya dapat menolong saya untuk mengetahui, untuk apa kami di tengah padang gurun itu.
Setelah perjalan lebih kurang satu jam lagi, kamipun tiba di kota Beersheva, ibu kota Negev. Kedua anak-anak sudah terbangun, penjelasan saya pada mereka tidak terlalu meyakinkan mereka. Supir itu sering berhenti untuk menayakan arah jalan. Kemana? Oh, saya begitu ingin tahu!
Akhirnya persis sebelum matahari tenggelam, nampaknya kami telah tiba ditempat tujuan.Barang-barang kami dikeluarkan dan kami dipimpin menuju dua kamar yang kecil-kecil.Seseorang dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah berkata: „Selamat Datang! Besok kantor disana jam 8“, sambil menujuk ke satu arah. Kemudian kami ditinggalkan di tengah-tengah harta kami yang masih yang masih kami miliki di dunia itu. Sebagai ganti tinggal di sebuah kota yang indah di tepi pantai, kami menemukan diri kami di sebuah kota tua yang pada 4000 tahun yang lalu digunakan Abraham sebagai tempat persinggahan. Perumahan imigrasi itu terletak di luar kota Beerseva dan dikelilingi oleh padang gurun yang tak berujung. Di sana tidak ada bank atapun toko.
Kami melangkah menuju kedua ruangan kecil dimana barang-barang kami terletak. Ruangan itu nampak kosong, beku, dan membangkitkan perasaan diasingkan. Malam pertama kami di Israel. Ini tentu bukan seperti yang saya bayangkan! Dimana kami merasa terhilang, capek, lapar dan sedikit kesepian! Dan kalau hal itu belum cukup, pada dinding di belakang Kulkas nampak seeokor serangga yang paling besar yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya.
Anak-anak bertanya, apa yang akan kami lakukan, dan saya tidak ada jawaban buat mereka. “Hanya berdoa,“ jawab saya dengan lesu.
Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu. Di sana berdiri satu keluarga Amerika! „Kami telah diberi tahu bahwa kalian akan tiba hari ini, maka kami ingin mengucapkan selamat datang. Siapa tahu kami bisa bantu?“ Kemudian mereka menawarkan makan malam. Kegembiraan kami tidak bisa dilukiskan dengan apapun!
Kebaikan mereka pada kami malam itu adalah sesuatu yang tidak boleh saya lupakan. Betapa besar artinya jika seseorang mendatangi kita dengan kasih! Mereka dengan rela membagikan dari sedikit yang mereka miliki, dan makanan kecil yang mereka sediakan didepan kami lebih berharga dari segala sesuatu yang pernah saya makan.
Mereka memberi kami nasehat-nasehat yang membuang rasa keterasingan kami di negri asing itu. Kami meninggalkan rumah kecil mereka malam itu masih dalam kebingungan, namun hangat oleh persahabatan mereka dan oleh makanan.
Anak-anak dan saya, kami lama berbincang-bimcng malam itu. Saya tidak bisa menjelaskan kepada mereka apa yang telah terjadi dan mengapa demikian. Yesus telah meneguhkan pada kami bahwa kami akan tinggal di Ashdod. „Jadi, kata saya pada kedua anak kecil saya, kita harus percaya bahwa Ia akan membawa kita ke sana!“
Dengan iman kami memutuskan untuk tidak membongkar barang-barang kami dan dalam doa kami meminta agar Tuhan membawa kami ke Asdod. Pada saat itu iman kami tidak begitu besar. Ashdod dan pusat imigrasi kami yang indah itu nampaknya amat jauh tanpa harapan. Keduanya tidak begitu tenang demikian juga dengan saya. Bagi Joey dan Michael sulit sekali untuk tidur dan ketika mereka akhirnya tertidur saya tau, bahwa saya tidak akan bisa tidur. Saya merasa ditinggalkan. Tuhan Engkau membawa kami ke Israel. Mengapa kami berada di tempat yang salah?“ Seribu pertanyaan dan kebimbangan memenuhi saya, akhirnya saya bertlut berdoa.
„ Oh, Yesus saya tidak mengerti. Apakah disini di mana Engkau ingin kami tinggal? Tetapi petunjukMu ke Ashdod sangat jelas! Maka saya harus mempercayai janjiMu pada kami! Silahkan pindahkan gunung ini dari kami! Jika kami sudah diterima di sini, nampaknya akan tidak mungkin lagi bisa keluar dari sini dan pindah ke Ashdod. Tetapi daripada menghadapi kesulitan, saya percaya Engkau mengerjakan hal itu!
Dan jika Engkau menghendaki agar kami tinggal di sini, saya akan mencoba melakukan yang terbaik, walaupun tempat ini terasing dan tidak dekat pantai, dengan serangga terbesar di dunia di dinding!
Terpujilah namaMu Tuhan, tolonglah kekerdilan iman saya! Amen.“
Saya membaringkan diri di tempat tidur saya dan menunggu pagi dan mengawasi serangga di dinding di belakang Kulkas.
Pagi pun tiba – seperti biasa! setelah berbicara dengan direktur jam 8, saya tahu bahwa mereka telah menunggu kami di Beerseva dua minggu yang lalu! Kesalahan telah terjadi di Amerika – seharusnya mereka tidak berkata kepada kami bahwa akan ke Ashdod! Hati saya menjadi kecut. Hal itu bukan hanya masalah dimana kami tinggal! Hal itu benar-benar tidak menjadi soal! Tetapi saya telah meyakini Tuhan bahwa kami akan pergi ke Ashdod. dan jika saya melakukan kesalahan atas hal itu, mungkin saja saya telah melakukan kesalahan dalam segalanya! Saya mulai berdoa dengan sungguh-sungguh.
Direktris itu menyetujui saya menelepon kantor di Jerusalem untuk meneliti kesahan itu. Ia mengajarkan satu kata Ibrani yang sangat populer di Israel pa saya, jaitu – „savlanoot“ (artinya „sabar“). Kantor itu bersedia meminjamkan uang Israel secukupnya untuk perongkosan kami ke pusat Beerseva agar kami bisa menukar uang di sana dan sarapan pagi. Seseorang yang baik mengiringi kami menuju Bus dan menjelaskan pada supir bus untuk membawa kami ke Bank dlam bahasa Ibrani.
Setelah penukaran uang dan makan sesuatu yang tidak biasa untuk sarapan pagi, kamipun naik bus kembali. Ketika kami turun dari bus, yang saya pikir tempat dimana kami harus turun, kami tidak melihat pusat imigrasi itu! Demikianlah kami terhilang di Beersheva. setelah kami sehari sebelumnya terhilang ke Beersheva! Saya mulai menanyakan orang-orang disektar saya,dimana pusat imigrasi itu dalam bahasa Ibrani, dan saya heran mengapa semua orang memandangi saya dengan rasa aneh! (Kemudian saya mengerti, rupanya saya telah membuat kesalahan, sebagai ganti kata „imigrasi“ saya menyebut „pendatang“! Dapat dibayangkan, seorang pendatang berjalan berkeliling lalu berkata, „Pendatang! Pendatang! Dimana itu Pendatang!“ Tapi seorang teman saya masih punya satu cerita yang lebih lucu. Sebagai pendatang baru Lev telah mempelajari kata „Ayam“. Tetapi ketika ia hendak membeli ayam dari tukang daging, mereka hanya memandangi dia dengan geli yang kemudian dia sadari bahwa ia telah menyebut „telinga“ bukan ayam!)
Akhirnya Joey mengusulkan agar kami naik lagi ke Bus. „Mungkin kita sudah terlalu jauh mami!“ Ternyata dia benar.
Kami kembali ke kantor direktris itu, dan ia menjelaskan kepada kami bahwa kantor di Israel telah mencek dan menemukan kesalahan itu terjadi di Amerika. Mereka telah membuking di Beersheba bukan di Ashdod! „Tetapi,“ katanya meneruskan dengan nada heran, Jika anda mau mengajukan usul, masih ada satu rumah untuk keluarga di di pusat imigrasi Ashdod!
Maka tigapuluh menit kemudian, dengan linangan airmata sukacita dan penuh dengan ucap syukur, kami sudah berada di sebuah taxi kembali.– kali ini meuju rumah yang sudah disiapkan Tuhan buat kami. Dan kemudian di tengah-tengah padang gurun Negev, di sebuah kota kecil Israel, di dalam taxi, supir taxi orang Maroko itu menunduk ke depan dan memasang radio – dan satu lagu yang pernah diberikan Yesus pada saya mengumandang di udara, „My Gentle Lady.“ Ia menunjukkan kasihNya kepada kita dengan cara yang tidak kita duga!
Rumah baru kami di Ashdod bahkan nampak lebih manis dari apa yang telah ditunjukkan orangtua saya. Sebuah bangunan indah dekat pantai. Apartemen dengan dua kamar itu bagaikan istana, dibandingkan dengan kedua kamar di Beersheva, dan sukacita kami tidak habis-habisnya! Dan saya yakin, seandainya kami tidak lebih dahulu mengalami kekeliruan ke Beersheva, kami tidak akan dapat melihat nilai keindahan rumah kecil kami itu seindah yang sekarang!
Sejak permulaan saya sudah jatuh cinta dengan penduduk Israel yang hidup dan penuh gairah itu. Para pendatang jarang meninggalkan Israel tanpa perubahan. Suatu perasaan yang sukar dilukiskan terhadap negeri itu – perasaan akan kehadiran Allah. (Dan melalui Tuhan saya juga merasakan, bahwa waktu saya di Israel adalah waktu permurnian untuk menelepaskan masa kekanak-kanakan sebagaimana juga yang Paulus katakan, „Saya telah mulai untuk meninggalkan kekanak-kanakan,“)
Joey dan Michael masuk di sekolah setempat dan mereka dapat jam khusus untuk pelajaran bahasa Ibrani. Untuk orang dewasa diberi kursus di kompleks itu sendiri. Kami bertiga masuk sekolah mulai jam 8 setiap pagi dan akan berakhir jam 13. Pada hari pertama saya tahu bahwa sebenarnya kursus yang saya ikuti telah dimulai tiga meinggu sebelumnya. Maka sejak semula saya menjadi putus asa dan kehilangan semangat. Teman-teman sekelas saya sudah mulai berbincang-bincang dalam bahasa Ibrani satu dengan yang lain dan saya hampir tidak menegerti apapun!
Penduduk Israel bekerja enam hari dalam satu minggu, maka kamipun masuk sekolah enam hari setiap seminggu. Saya tidak akan pernah melupakan hari sabat pertama kami di Israel. Pada hari Kamis, setiap orang membersihkan dan mempersiapkan rumah mereka untuk esok harinya. Hari jumat pagi, semua tempat perbelanjaan penuh dengan orang yang berbelanja untuk hari Sabat – sudah pasti mereka akan membeli roti sabat yang khusus, yang disebut „challah“ dengan bunga dan anggur (minuman). Pada malam hari (yang disebut malam sabat itu), sepanjang jalan akan menjadi kosong, sama sekali tidak ada lagi kenderaan yang hilir mudik. Semua toko dan tempat perbelanjaan tutup dan kota itu menjadi sunyi senyap. Kami belum pernah melihat sebuah kota yang begitu ramai sebelumnya menjadi sunyi senyap. Kami jadi sangat terheran-heran! Baru saja setelah matahari terbenam, dari terras rumah kecil kami, kami sudah melihat lilin-lilin yang menyala di tiap-tiap rumah di kompleks itu. Pemandangan yang luarbiasa indahnya dan yang melahirkan suasana damai yang luarbiasa!
Beberapa minggu kemudian kamipun mulai merayakan sabat sebagai keluarga. Saya tidak dapat melukiskan perubahan yang terjadi dalam hidup kami! Hari itu benar-benar menjadi satu hari yang khusus bagi keluarga. Pada hari Jumat sore, saya akan menyiapkan meja (dengan menggunakan taplak meja putih). Dengan bunga yang segar, lilin, anggur dan roti khusus di atas meja menyulap rumah kecil kami! Anak-anak segera menghafal doa-doa, dan kami menjadi tidak begitu sabar menantikan sabat yang berikutnya setiap minggu. Betapa sering disebut seorang Jahudi yang paling sederhana dan termiskin sekalipun berubah menjadi raja, jika ia kembali dari sinagoge menyambut sabat, yang disebut raja hari-hari itu!
„SELAMAT DATANG RAJA SABAT“
oleh Zalman Schneour
„Hai marilah kita menyambut Raja Sabat yang kekasih!
Tukang
sepatu melepaskan jarum dan benangnya,
Tukang jahit menancapkan jarum dan
kini tidur di tempat tidur.
Ayah telah mandi, mencuci rambutnya dan berkata:
Sabat
yang manis sudah dekat,
Sabat yang manis sudah di sana.
„Hai marilah kita
menyambut Raja Sabat yang kekasih!
Sang pedagang menutup dan mengunci toko,
Sang kucir mengikat
kudanya di depan pintu,
Pelayan sinagoge berlari tergesa-gesa dan berkata:
Matahari
terbenam di langit,
Sabat yang kekasih sudah malam,
„Hai marilah kita
menyambut Raja Sabat yang kekasih!
Pemimpin biduan berjanggut putih terburu-buru
Menyambut sabat
dengan berkat da pujian,
Ibu yang kekasih menyalakan lilin dan berdoa:
Hari
peristirahatan yang kudus,
Diberkatilah untuk selamanya,
„Hai marilah
kita menyambut Raja Sabat yang kekasih!
Kehidupan di pusat imigrasi tersebut adalah pengalaman istimewa. Di satu bangunan, tinggal keluarga-keluarga dari berbagai negara dan berbagai kebudayaan. Semuanya belajar bahasa Ibrani dan kebudayaan di Israel. Masing-masing telah memilih tempat itu jadi tanah air yang baru baginya. Ketika kami merasa sedikit mampu dalam bahasa Ibrani, kami dengan gembira untuk saling berkunjung.
Secara khusus kami menikmati acara-acara kunjungan ke luar kota yang diorganisir pihak perumahan imigrasi tersebut buat kami. Kami akan berangkat dengan tiga atau empat bus untuk menjelajahi negara kami yang baru itu. Dan Israel adalah mujizat! Negri yang penuh nama-nama bersejarah seperti Abraham, Daud, Salomo, Yehezkiel, Yesaya dan Yesus, tentu mengungkapkan kekhususan negri itu!
Kami melihat pemandangan-pemandangan indah! Sumur Abraham di Beersheva, Laut Mati dan salah satu dari tempat-tempat kesayangan saya ialah Ein Gedi. Tempat dimana Daud menyembunyikan diri dari Saul, pemandangan yang sungguh indah! „Ein Gedi „ artinya „tempat kambing pegunungan“ dan sampai sekarang kita masih dapat melihat mereka tinggi di puncak-puncak gunung. Berduyun-duyun kami menyusuri gua dan keluar ke sebuah air terjun yang megah, yang tidak mengalami perubahan sepanjang masa! Suatu bagian dari keajaiban Israel!
Yang paling mengagumkan saya ialah, ketika melihat pemandangan dimana „Gulungan Kitab Laut Mati tersingkap. Saya telah mendengar cerita tentang penemuan mereka itu ketika saya masih di Amerika. Kini hal itu memberi arti yang jauh lebih besar buat saya. Sebab jika kita melihat sendiri daerah penemuan itu, di tengah-tengah padang gurun, maka kita akan tau dengan jelas, bahwa tangan Tuhanlah yang telah memelihara mereka dan membiarkan hal itu ditemukan! Gulungan Kitab yang ditemukan anak kecil, seorang gembala Arab. Ia telah menuntun domba-dombanya ke padang gurun dekat Laut Mati, ketika ia secara iseng-iseng melemparkan sebuah batu ke sebuah gua yang dalam. Ia mendengar sesuatu pecah dan ia menjadi ketakutan. Keesokan harinya, bersama teman-temannya ia datang dan menemukan guci-guci berisi gulungan-gulungan kitab tua yang berbau tengik – sebagian berisi kitab Yesaya! Gulungan-gulungan kitab itu sudah berada di sana selama 1900 tahun. Mereka ditemukan pada thn.1947. Hal itu meneguhkan bahwa bahasa Ibrani moderen sekarang ini tidak mengalami perubahan. Dan beberapa bulan setelah penemuan tersebut, nubuatan Yesaya dipenuhi:
„Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi
aku;
Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan khabar baik kepada orang-orang
sengsara,dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan,dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari
penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita,untuk
menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan
kepala ganti abu,minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian
ganti semangat yang pudar,supaya orang menyebutkan mereka „pohon tarbantin kebenaran“,
„tanaman TUHAN“ untuk memperlihatkan keagunganNya. Mereka akan membangun reruntuhan
yang sudah berabat-abat, dan akan mendirikan kembali tempat-tempat yang sejak
dahulu menjadi sunyi; mereka akan membaharui kota-kota yang runtuh, tempat-tempat
yang telah turun-temurun menjadi sunyi.
Yes.61:1-4
Satu dari perjalanan yang termasuk dalam bagian pertama kunjungan kami di tanah suci ini, kamii duduk di puncak Bukit Zaitun. Di depan kami terbentang „kota Tuhan, kota Sion yang kudus di Israel“ Tempat yang tiada bandingannya dengan tempat-tempat yang penah saya lihat. Di sana terbentang kemegahan dan keemasan Jerusalem menantikan Rajanya kembali. Kota kesayangan Tuhan dari sepanjang masa dan yang sungguh diberkatiNya. Kota yang sedang menantikan keagungannya di masa yang akan datang! Jerusalem punya cerita yang tak ada bandingannya dengan kota-kota di dunia, masa depan yang gemilang yang tiada mungkin membandingannya.
Tempat perhentian kami yang pertama di temnbo kota adalah „Tembok Barat“. Tempat yang diagung-agungkan oleh orang Jahudi dari seluruh dunia. Satu-satunya reruntuhan asli dari dinding Bait Allah, yang menjadi tempat kesayangan orang Jahudi berdoa dan meratap.
Sebagaimana telah menjadi kebiasaan, saya juga menulis doa saya pada secarik kertas dan mendekati benteng tersebut, memasukkannya pada sebuah lubang dalam dinding. Saat dimana hati saya digoncangkan oleh kasih yang dalam terhadap bangsa saya. Saya melihat ribuan carikan kertas doa akan pengharapan, dan kerinduan saudara -saudara saya laki-laki maupun perempuan. Saya teringat akan kasih Yesus, Mesias kami yang sudah saya alami. Saya teringat akan damai ajaib yang hanya berasal dari padaNya. Dan disekitar saya masih ratusan saudara-saudara saya orang Jahudi yang masih berdoa di depan benteng tersebut! Saya merasakan perkabungan yang dalam, perasaan pilu dan sedih yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya menangis terang-terangan di tempat terbuka itu, –tak mampu membendung airmata saya–.dan saya memohon agar Bapa meruntuhkan tembok penghalang yang memisahkan antara Dia dan mereka dan menyambut mereka kepada kesucianNya, melalui darah Anak Domba Allah. „Oh Tuhan, singkirkanlah lumbaran dari mata mereka! Dan biarkanlah mereka mengenal kasihMu yang besar pada mereka!“
Tidak ragu lagi, salah satu dari perjalanan kami yang terbaik adalah ketika kami menyaksikan „produksi cahaya dan nada“ di Masada. Ribuan manusia duduk mengitari lembah bukit yang dipenuhi dengan bagian sejarah itu. Ketika malam mulai tiba, kami melihat dramatisasi pengumuman kembali atas perebutan Roma atas benteng Masada melalui cahaya dan nada. Hal itu menceritakan suatu kisah yang tragis, dimana ketika tentara Roma akhirnya mencapai puncak benteng pertahanan, mereka mengalami kemenangan. Semua orang Jahudi, laki-laki dan perempuan bahkan anak-anak dibunuh dan kota mereka direbut.
Dari semua pengalaman-pengalaman kami, saya rasa yang paling mengagumkan saya adalah, bahwa saya masih terus mempelajari mujizat-mujizat lahirnya kembali Israel sebagai satu bangsa...