|
... “Mengapa anak laki-laki itu melempar saya dengan batu?
Mengapa dia menyebut saya ‘Yahudi’ ”? Saya tidak pernah melihat dia sebelumnya.
Mengapa dia membenci saya yang belum pernah dikenalnya?” |
Saya dilahirkan pada saat di mana seluruh dunia berada dalam kekacauan karena perang dunia pertama. Banyak orang menderita kelaparan. Saya dilahirkan di keluarga Yahudi ortodok rabbinic dan chasidic. Walaupun orang tua saya miskin saat itu, mereka mengirim kami, anak laki-lakinya, ke sekolah agama ortodok yang mahal. Saya mempunyai tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Satu-satunya keinginan ayah saya adalah agar kami empat putranya menjadi rabi (pendeta Yahudi). Pada usia 5 tahun saya sudah pergi ke Cheder dan duduk di kelas satu dan pada usia 7 tahun saya sudah bisa membaca dalam bahasa Ibrani. Pada usia 9 saya diperkenalkan kepada lima buku dari Musa dan komentator Alkitab “Rashi”, dan juga buku hukum Yahudi kuno yang sekarang sudah ditinggalkan, yaitu “Talmud”. Saat saya berumur 10-11 tahun, Talmud mengungguli semua buku lainnya dan menjadi buku pegangan utama untuk hidup saya 10 tahun berikutnya. Pada usia 13 tahun saya memulai kehidupan religius yang mandiri. Saya diberitahukan bahwa kami anak-anak berada dalam jurisdiksi ayah kami sampai usia 13; setelah usia itu kami bebas dari pengawasan ayah kami; kami sendiri bertanggung jawab atas dosa kami. Karena itu, setelah saya berusia 13, saya dibawa ke synagoge (tempat ibadah orang Yahudi) dimana ayah saya mengucap syukur pada Tuhan karena ia telah melepaskan dosa-dosa saya.
Orang tua saya penganut ortodok yang sangat keras. Ayah saya adalah seorang rabi. Ia pergi ke synagoge tiga kali sehari untuk berdoa. Kami mempelajari hukum-hukum Yahudi sesuai dengan Talmud, orang tua kami menginginkan agar anak-anaknya juga mengikuti jejak ayahnya dan tetap menjadi Yahudi ortodok. Keluarga kami tinggal di kota kecil di Congress-Polandia dekat dengan Warsawa. 500 keluarga Yahudi dan 800 keluarga Polandia tinggal di sana, tetapi orang Yahudi dan orang Polandia dipisahkan oleh empat “tembok Cina”:
Ada beribu-ribu lagi perbedaan antara orang Yahudi dan orang Polandia – perbedaan adat istiadat, gaya hidup, kelakuan, temperamen, dan penampilan. Kepentingan dan harapan mereka juga berbeda. Sulit untuk melukiskan dengan kata-kata hal-hal yang memisahkan kami. Kami adalah dua kelompok orang yang tinggal di satu wilayah, di bawah langit indah Polandia. Kami sama-sama makan roti Polandia yang menyehatkan dan bernafas dengan udara bersih yang sama. Namun kami merasa asing terhadap satu sama lain seperti timur dan barat.
Ketika saya berusia 6 tahun, saya berusaha untuk pergi keluar dari “ghetto” orang Yahudi. Tiba-tiba seorang anak laki-laki bukan Yahudi melemparkan saya dengan batu sambil berteriak: “Yahudi, Yahudi!”. Saya, sebagai seorang anak kecil tidak tahu kalau orang Yahudi dibenci oleh orang bukan Yahudi. Karena itu saya sangat kaget dan takut. Saya lari kembali ke rumah dan memberitahukan ibu saya bahwa seorang anak laki-laki melempar saya dengan batu dan menyebut saya, “Yahudi, Yahudi!”. “Mengapa anak laki-laki itu melempar saya dengan batu? Mengapa dia menyebut saya ‘Yahudi’? Saya tidak pernah melihat dia sebelumnya. Mengapa dia membenci saya yang belum pernah dikenalnya?” “Dia adalah orang Kristen dan orang Kristen benci orang Yahudi. Bahkan jika dia tidak mengenalmu, dia adalah musuhmu.” “Tetapi mengapa dia adalah musuhku?” Saya bertanya terus. “Dia percaya apa yang diajarkan padanya. Pendetanya, gurunya, orang tuanya mengajarkan dia untuk membenci orang Yahudi. Karena itu dia membencimu tanpa sebab. Tapi saat Mesias kita datang, kita akan menjadi kepala, bukan lagi ekor. Saat itu kita akan kembali ke Palestina dan tidak seorangpun akan menyerang kita lagi.” “Tetapi kapankah Mesias itu datang?” Saya terus bertanya. “Kita tidak tahu waktu tepatnya, Tapi Ia akan datang suatu hari. Kesusahan kita karena perlakuan orang Kristen akan berakhir.” Harapan akan datangnya Mesias menyertai saya sepanjang hidup. Hal itu memberi saya kekuatan untuk menanggung kesengsaraan dan penghinaan dari tetangga saya yang bukan orang Yahudi.
Setelah “Bar Mitzvah” saya dikirim ke sekolah rabi yang lebih tinggi dengan satu tujuan untuk menjadi rabi. Saya menghabiskan tahun-tahun dari saat saya berusia 13 sampai 22 di sekolah yang berbeda di mana pelajaran yang utama adalah Talmud, yang terdiri dari 60 buku yang mengatur kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah utama yang dipelajari adalah: kerusakan, hari raya, pernikahan dan perceraian, doa dan masalah pertanian. Gaya bahasa utama dari buku-buku tersebut adalah argumentasi. Contohnya kalau seorang rabi mengatakan jika sebuah telur dihasilkan pada hari raya, maka boleh dimakan, dan rabi yang lain berkata bahwa itu tidak layak untuk dimakan, tetapi “trefa”. Talmud adalah karya argumentasi dan pepatah yang berhubungan dengan pendidikan. Buku tersebut berurusan dengan aliran mistik, metafisik dan adat istiadat. Saya, sebagai murid yang belajar Talmud, harus menghafal nama setiap rabi yang menyatakan pendapatnya mengenai masalah kerusakan, hari raya dan sebagainya. Talmud ditulis pada jaman Tannaim dan Amoraim, 1800 tahun yang lalu. Sejak itu ribuan buku yang memberi komentar atas Talmud telah ditulis. Buku yang paling terkenal, yang sama pentingnya dan sama mengikatnya seperti Talmud bagi penganut Talmud adalah Ramban, “Rosh”, Tosafot dan Rashi, yaitu komentator Talmud yang terbesar. Saya harus mengetahui semua perbedaan pendapat dan pepatahnya. Karena begitu banyak yang harus dipelajari, kami tidak mempunyai waktu bahkan untuk hal-hal yang paling dasar yang bersifat duniawi. Saya mengabaikan aritmatika, geografi, dan yang lainnya, tetapi pada usia 22 tahun saya dianggap sebagai “lamdan” yang berarti orang yang dipelajari di dalam Talmud.
Pada tanggal 1 September 1939, perang dunia kedua meletus. Saya baru saja menerima diploma saya sebagai rabi yang disebut “Smicha” di musim panas waktu itu. Saya berencana untuk menikah dan menjadi pemimpin agama Israel, dan menggunakan pengetahuan yang saya peroleh untuk memimpin saudara-saudara saya orang Yahudi di jalan Talmudic, tradisi dari rabi. Rencana lain adalah untuk meninggalkan Polandia, mungkin beremigrasi ke negara Latin Amerika, karena ada kebutuhan yang besar untuk rabi di sana. Perang merusak semua rencana saya. Hidup saya sendiri terancam, seperti halnya semua saudara saya orang Yahudi di Eropa.
Pada tanggal 4 September 1939, tentara Jerman memasuki kota kami. Hidup menjadi tak tertahankan bagi orang Yahudi di Polandia. Semua orang Yahudi dikutuk mati. Bila seluruh langit adalah kertas dan semua pohon dibuat pena, itupun tidak mungkin untuk menggambarkan apa yang telah Nazi dan orang Polandia lakukan terhadap orang Yahudi di Polandia. Selama 6 tahun dari gerakan anti Yahudi, 6 juta orang Yahudi, diantara mereka satu juta anak-anak, meninggal. Sepertiga dari populasi orang Yahudi di dunia dimusnahkan. Tanah di Eropa masih basah oleh tumpahnya darah orang yang tidak bersalah. Benar, ada di sana sini keluarga Polandia yang menyelamatkan orang Yahudi, menyembunyikan dan memberi makan. Tetapi jumlah orang yang baik seperti ini sangat sedikit. Bulan Mei 1945, Perang Dunia kedua berakhir. Hasilnya: para pembunuh Nazi dibinasakan, Israel bangkit menjadi sebuah bangsa – dan saya kehilangan seluruh keluarga saya.
Setelah perang saya keluar dari kamp konsentrasi dengan harapan melihat dan bertemu dengan famili saya. Saya memuat iklan di koran-koran. Saya pergi ke berbagai institusi untuk mencari tahu tentang famili saya. Dengan sangat sedih saya mendapati semua orang yang saya kasihi telah musnah bersama dengan enam juta orang Yahudi yang merupakan korban dari kejahatan terbesar di sejarah manusia – ideologi Nazi. Saya menyadari fakta pahit bahwa saya sendirian di dunia tanpa teman, tidak dimiliki oleh siapapun, tidak memiliki siapapun. Hampir saya tidak percaya bahwa saya tidak akan pernah lagi melihat orang tua saya, saudara perempuan dan laki-laki saya atau paman saya. Sekarang saya berada di dunia yang asing, di dunia tanpa teman dan saudara. Saya mulai mencari teman, tetapi tidak seorangpun dapat memuaskan kerinduan saya untuk hati yang murni seorang ibu dan kasih seorang ayah. Tidak seorangpun dapat menggantikan kasih dari saudara perempuan dan kesetiaan saudara laki-laki. Saya kecewa dan putus asa : saya memandang ke surga dan menanyakan pertanyaan Yahudi kuno: Mengapa? Mengapa sepertiga dari bangsa Tuhan dibunuh oleh Nazi? Di manakah Tuhan saat seorang anak Yahudi kecil yang tak bersalah menangis meminta pertolongan ketika pembunuh Nazi mengacungkan tangannya yang kejam untuk membunuhnya? Mengapa Tuhan diam di masa yang begitu mengerikan bagi orang-orang pilihanNya.
Karena tak punya siapapun di Polandia, saya memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat: pikir saya, mungkin di tempat yang baru saya dapat melupakan masa lalu yang menakutkan dan memulai hidup yang baru. Untuk dapat pergi ke Amerika, pertama-tama saya harus pergi ke Jerman Barat yang dikuasai oleh tentara Amerika. Saya menjadi anggota kelompok Zionis yang tugas utamanya adalah membawa orang Yahudi keluar dari Polandia dan membawa mereka ke Jerman dan Italy supaya mereka dapat beremigrasi ke Israel atau ke Amerika. Pada bulan April 1946 saya datang ke kamp Yahudi DP dekat perbatasan Jerman dengan Austria. Saya mendaftar di sana sebagai rabi dan mulai bekerja di Kamp I DP. Di samping itu saya juga mengedit suratkabar DP. Pada tahun 1952 saya datang ke Rhode Island, Amerika, di mana saya bekerja sebagai asisten rabi di sebuah synagoge.
Walaupun saya bekerja sebagai guru Talmud di synagoge, ada pertentangan besar di dalam hati saya. Pertanyaan: “Mengapa Tuhan mengijinkan 6 juta orang Yahudi untuk mati?”, sangat mengganggu saya. Saya mengajarkan hal-hal yang saya tidak yakini kebenarannya. Saya memberitahukan jemaat dan murid-murid saya: “Bila kita orang Yahudi ingin bertahan dan melawan musuh kita maka kita harus menguduskan hari Sabat.” Dalam hati saya tahu bahwa 99% dari korban Hitler telah menguduskan hari Sabat, tetapi itu tidak melindungi mereka dari pembunuhan. Saya tidak mempunyai bukti atau jaminan bahwa apa yang saya ajarkan adalah benar. Saya kehilangan kepercayaan saya terhadap legenda Talmud, hukumnya, argumentasi pro dan kontra yang kering. Saya mencari kebenaran, tetapi tidak dapat menemukannya.
Setiap hari raya kami orang Yahudi pergi ke synagoge dan berdoa kepada Tuhan, mengaku dosa dan minta pengampunan. Kami mengatakan, “Karena dosa-dosa kamilah, kami terusir dari negri kami.” Pengakuan dosa adalah bagian yang sangat penting dari doa kami. Buku doa orang Yahudi mencatat jenis dosa yang berbeda-beda yang harus diakui di dalam doa setiap hari. Hari yang paling kudus untuk berdoa adalah Yom Kippur dan pada malam sebelum Yom Kippur, setiap orang Yahudi yang berusia lebih dari 13 tahun harus membaca 45 pengakuan dosa yang dinamakan “Al Chets”. Sesudah pengakuan dosa, “Slach Lanu” atau ampunilah kami dibacakan oleh jemaat. Ketika saya berdoa seperti ini, saya merasa tidak bahagia dan tidak puas, karena saya tahu bahwa menurut Alkitab, pengakuan saja tidak mengampuni dosa. Saya tahu bahwa agar dosa diampuni, harus ada “korban” yang dipersembahkan. Kitab Imamat banyak mengatur tentang “korban”, terutama Imamat 5:17-19. Saya tidak yakin bahwa doa Yom Kippur mempunyai arti penting di mata Tuhan, karena saya tahu segera setelah pengakuan dosa dan doa kami kembali ke cara hidup lama dalam dosa. Bagi saya, itu seperti saat kami mengaku dosa di dalam synagoge kami sedang melecehkan Tuhan. Kami mengaku menyesal dengan bibir kami tetapi tidak sungguh-sungguh bermaksud demikian. Saya tahu bahwa kita adalah orang berdosa dan perlu pendekatan yang sungguh-sungguh dan benar kepada Tuhan.
Saya merasa sangat tidak bahagia dengan keadaan spiritual saya. Saya kehilangan iman akan manusia juga akan legenda serta pengajaran rabi. Saya merasa sangat sedih, menyadari bahwa saya, sebagai seorang rabi, mengajarkan kepada orang banyak hal-hal yang tidak saya percayai. Saya tahu bahwa pengajaran Talmud, pepatah, argumentasi mimbar, debat pengetahuan, komentar yang begitu detil mengenai kerusakan, hukum-hukum, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai sabat, hari raya, cara berpakaian, cara membersihkan, semuanya tidak begitu penting untuk kami. Saya menyadari bahwa kami membutuhkan sesuatu kebenaran spiritual dimana kami sebagai orang Yahudi dapat bertahan, hidup dan berjalan. Apakah kebenaran itu? Apakah jalan yang benar bagi kami dan bagi saya secara pribadi? Saya tidak tahu. Saya melihat umat saya seperti domba tanpa gembala. Saya melihat selama 2000 tahun pengajaran Talmud, Chasidic, Cabbalistic dan pengajaran dunia tidak dapat menyelamatkan satupun anak Yahudi dari pemusnahan. Saya tahu, kami orang Yahudi menderita karena dosa-dosa kami, seperti yang kami bacakan dalam doa di hari raya, tapi saya tidak tahu apakah dosa kami.
Suatu hari di musim semi saya berjalan-jalan di Rhode Island. Saya melihat ke sana ke mari tanpa tujuan, hanya ingin mencari angin segar musim semi. Ketika sedang berjalan-jalan, saya melihat beberapa orang muda berdiri dekat sebuah toko yang membagikan selebaran kecil. Mereka menarik perhatian saya dan mereka memberikan selebaran itu pada saya juga. Karena saya tidak dapat membaca dalam bahasa Inggris saya memutuskan untuk masuk ke dalam toko tersebut dan melihat penawaran apa yang mereka berikan. Ketika saya masuk, saya terkejut karena tidak melihat adanya barang dagangan. Yang mengherankan saya, saya melihat semua orang duduk dengan mata tertutup dan kepala tertunduk. “Apa yang sedang terjadi di sini?” pikir saya. Saya tidak tahu bahwa ini adalah cara orang Kristen berdoa. Itu sangat kontras dengan cara orang Yahudi berdoa – yaitu dengan mata terbuka dan badan gemetar. Saya menunggu sesaat sampai semua selesai berdoa dan membuka mata mereka. Seorang anak laki-laki mendekat dan mengajak saya berbicara, tapi saya tidak memahaminya. Saya baru berada di Amerika beberapa minggu dan tidak dapat berbahasa Inggris. Akhirnya saya berkata bahwa saya hanya mengerti bahasa Jerman dan Yiddish. Melalui bahasa isyarat saya berjanji untuk kembali hari Rabu berikutnya, dimana seseorang yang dapat berbahasa Jerman akan datang dan menjelaskan kepada saya mengenai organisasi ini.
Hari Rabu berikutnya, pemuda Jerman itu telah menunggu saya ketika saya datang. Ia menjabat tangan saya dengan bersahabat dan berkata dalam bahasa Jerman: “Ini adalah misi untuk orang Yahudi.” “Apakah misi itu?”, tanya saya. “Tuhan mengirim kami kepada orang Yahudi untuk memberitahukan pada mereka bahwa Tuhan mengasihi mereka dan menginginkan agar mereka selamat.” “Apakah maksudmu dengan diselamatkan? Bagaimana mungkin anda berbicara mengenai kasih setelah petaka yang terjadi pada orang Yahudi di Eropa?” tanya saya. Ia tersenyum dan berkata, “Saya mengerti perasaan anda; tetapi orang Kristen, pengikut Kristus, mengasihi orang Yahudi, dan semua yang menyakiti mereka bukanlah orang Kristen. Alfa dan Omega dari kekristenan adalah kasih untuk sesama, termasuk Israel. Tuhan memerintahkan kami untuk pergi kepada orang Yahudi terlebih dahulu.” “Semua yang membawa salib dan mempunyai gambar orang-orang kudus di rumahnya – tetapi mengorganisir gerakan anti orang Yahudi di Eropa – bukankah mereka orang Kristen? Bukankah gereja-gereja di Polandia dan Ukraina sumber utama dari gerakan anti orang Yahudi? Bukankah para pendeta memprovokasi umatnya untuk melawan orang Yahudi?” Dia memandang saya dan berkata “Tuhan mengajarkan kita untuk mengasihi musuh dan mengasihi orang yang membenci kita. Semua yang tidak mematuhi ajaran Tuhan bukanlah pengikutNya.” Lalu ia memberikan Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yiddish dan berkata, “Bacalah dan kamu akan menemukan pengajaran sejati dari Kristus”. Saya mengambil Alkitab Perjanjian Baru itu dan memasukkannya ke dalam kantong dan berkata, “Baiklah tuan, saya akan membacanya. Saya ingin melihat seperti apa sebenarnya Perjanjian Baru itu. Saya tidak tahu apapun mengenainya.” Banyak yang harus saya baca selama beberapa malam berikutnya. Setiap baris, setiap halaman, merupakan pencerahan yang luar biasa bagi saya saat saya membaca dengan penuh minat. Membuka kitab Matius, saya terkejut membaca bahwa Yesus adalah keturunan dari Abraham dan Daud. Saya juga menyadari bahwa di semua halaman ditulis “Seperti yang telah tertulis”, yang berarti bahwa itu juga dituliskan di Alkitab kami orang Yahudi. Contohnya, di pasal pertama saya membaca bahwa Ia akan dilahirkan dari seorang dara karena ada tertulis:
“… Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14).
Di pasal kedua saya membaca bahwa Ia dilahirkan di Bethlehem seperti ada tertulis:
“Tetapi engkau, hai Bethlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagiKu seorang yang akan memerintah Israel…” (Mikha 5:1).
Saya juga melihat bahwa Ia akan keluar dari Mesir, seperti ada tertulis:
“…dari Mesir Kupanggil anakKu itu.” (Hosea 11:1).
Ketika melanjutkan membaca, saya menyadari bahwa setiap halaman dan setiap pasal mengacu kepada Perjanjian Lama. Menjadi jelas bagi saya bahwa buku ini dinamakan Perjanjian Baru karena ini adalah penggenapan dari Perjanjian Lama. Saya menyadari bahwa kami para rabi terlalu sibuk dengan Talmud dan hanya sedikit sekali memperhatikan Alkitab. Saat itu di tempat itu saya menjadi orang Yahudi yang percaya pada Alkitab. Saya bersyukur kepada Tuhan yang memimpin saya kepada misi kecil itu dan memutuskan untuk mengabdikan hidup saya bagi sang Mesias.
Saat itu beberapa minggu menjelang Paskah. Misionaris di Rhode Island memberi saya alamat dari seorang Yahudi yang percaya pada Yesus yang tinggal di New York, dan saya pergi ke sana karena saya belum pernah melihat orang Yahudi yang percaya kepada Yesus. Segera setelah saya menghubunginya, dia mengundang saya ke rumahnya. Dia menyambut saya dengan salam, “Shalom Aleichem”. Kami membaca bersama Perjanjian daru dalam bahasa Yiddish. Setelah beberapa saat ia memberitahukan saya bahwa ia telah menulis sebuah sajak berjudul “Penderita” dan mulai membacakannya. Tapi ini hanyalah selubung, karena sebetulnya itu adalah Yesaya pasal 53. Kemudian ia bertanya,
“Siapakah subyek dari puisi ini? Siapa yang menderita bagi dosa kita? Oleh bilur siapakah kita disembuhkan?”
Saya menjawab, “Mungkin itu menunjuk kepada Yesus Kristus”. Kemudian ia berkata; “Saya baru saja mengkopi dan membacakan untukmu Yesaya pasal 53. Ialah yang menulis tentang Mesias.” Bayangkan betapa terkejutnya saya. Saya tidak tahu mengenai isi dari Yesaya 53! Keesokan harinya saya menunjukkan “puisi” yang sama kepada seorang teman, seorang rabi di New York. Ia tidak tahu juga bahwa Yesaya telah menulis pasal ini. Satu-satunya kesimpulan yang saya ambil adalah alasan utama mengapa begitu banyak rabi dan orang Yahudi tidak tahu tentang Mesias, Juru Selamat dari Perjanjian Lama dan Baru, adalah karena mereka tidak tahu isi Alkitab. Saya bertekad untuk melakukan apa saja untuk membawa Alkitab Yahudi kepada mereka. Malam yang sama saya datang kepada misionaris di New York dan memberitahukannya bahwa saya percaya pada Alkitab dan pada Tuhan Yesus. Dan di sana kami berlutut dan berdoa untuk pengampunan dosa dan untuk keselamatan. Saya menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi. Begitu besarnya perubahan pada saya. Saya sangat senang. Saya merasakan damai, sukacita, kebahagiaan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Seluruh keberadaan saya menjadi hidup yang bersukacita. Saya adalah ciptaan baru.
Ketika pulang ke rumah, saya mengambil Alkitab dan membaca pasal 53 dari Yesaya berulang kali. Saat membaca saya mempertanyakan, mengapa saya belum pernah mendengar tentang Yesaya 53 sebelumnya? Mengapa para rabi tidak memberitahukan kepada saya mengenai pasal ini? Adalah jelas bagi saya bahwa kami orang Yahudi tidak dapat dianggap sebagai orang yang percaya kepada Alkitab kalau kami menyangkal Yesaya 53. Saat saya membaca terus, menjadi jelas bagi saya bahwa nubuat Yesaya di dalam pasal 53 menggambarkan rencana agung Tuhan mengenai pengampunan, pembaharuan hubungan dengan Tuhan dan keselamatan.
Saya pergi ke Los Angeles dan memulai pendidikan Amerika saya di kelas dua sekolah dasar. Setelah menyelesaikan 8 kelas saya lulus dari Sekolah Menengah Umum. Kemudian saya melanjutkan ke Los Angeles City College, dan akhirnya ke Biola College, dimana saya menerima gelar sarjana S1 saya. Saya dibaptis dan ditahbiskan menjadi pelayan Injil. Sekarang keiinginan saya yang terdalam adalah membawa injil kepada umat saya, orang Yahudi, supaya merekapun dapat menerima Mesias mereka dan mewarisi hidup yang kekal. Mesias berkata,
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
Setelah saya diselamatkan, saya merasa tidak cukup bahwa saya telah mengenal Terang, tetapi saya rindu agar semua orang Yahudi percaya kepada Mesias orang Israel. Saya melihat bahwa ini tidak mudah. Mereka yang tidak percaya, dengan pahit menentang pemberitaan Injil yang mulia kepada saudara sedaging saya. Saya mengenal prasangka mereka terhadap Injil dan pandangan mereka akan kehidupan. Walaupun mengetahui perjuangan ini tidak mudah, saya memutuskan untuk maju terus dengan pekerjaan Tuhan. Saya menjadi semakin berkeinginan untuk menyebarkan kebenaran diantara orang Yahudi yang naif yang telah disesatkan oleh “gembala” mereka. Mereka adalah pemimpin buta dari orang buta yang hanya mementingkan kesejahteraan dirinya sendiri dan hanya mempunyai sedikit perhatian terhadap umatnya. Tuhan memanggil saya untuk melayaniNya dan dan saya yakin Ia akan melindungi saya dan menolong saya menyebarkan terang diantara mereka yang belum pernah mendengar cerita sebenarnya tentang Kristus. Kekuatan yang besar dari dalam saya mendorong untuk melakukannya dan kekuatan ini adalah Roh Kudus sendiri. Kekuatan Roh Kudus ini berbicara kepada saya siang dan malam, “Beri makan domba-dombaku”. Dan saya menjawab, “Inilah saya. Saya rela pergi kepada umat Israel yang begitu dikasihi Bapa, dan memberitakan kepada mereka rencana keselamatanNya yang sederhana dan pasti.” Saya melihat orang Yahudi yang lelah dan berduka yang menggapai di kegelapan, mencari kebenaran dan tidak seorangpun menolong mereka. Karena itu saya semakin yakin untuk pergi mengabarkan Injil pada mereka yang lelah dan patah hati. Yesus berkata: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”
Saya meminta kepada semua rabi, pemimpin dari orang Yahudi, dan orang Yahudi awam: kembalilah kepada nabi-nabi kami, kepada Tuhan dan yang diurapiNya.
“Marilah, baiklah kita berperkara! – firman Tuhan – Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yesaya 1:18)
Hak cipta. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kesaksian
ini silahkan menghubungi:
Hebrew Witness, Inc., P.O.Box 132, Brooklyn, N.Y.
11229, U.S.A.
Source :
Messianic Good News